‘Apa
kabar, Tam?’
Seketika pesan singkat
itu membuat langkahku terhenti.
“Lho, kenapa berhenti,
Tam?”
“Oh, enggak Fir, ini
ada sms dari temen SMA ku.”
“Ooo...”
Pesan singkat yang
Ghani kirim sepulang kuliah, ternyata benar-benar sukses menghancurkan aktivitasku
dihari Selasa ini. Dari sepulang kuliah sampai larut malam, Aku tidak keluar
kamar kecuali untuk sholat. Pikiranku kembali melayang ke masa-masa SMA yang
baru beberapa bulan kutinggalkan.
**
Semuanya berawal dari
hari itu, hari dimana Aku dan seluruh siswa baru dikumpulkan di lapangan luas
yang gersang. Keadaan saat itu benar-benar panas, apalagi dihadapan kami
berbaris kakak-kakak kelas yang siap meminta pertanggungjawaban kami atas
kesalahan-kesalahan yang kami lakukan selama OSPEK hari pertama. Saat itu,
Ghani yang merupakan teman sekelasku membuatku marah. Dia bilang pada kakak
kelas bahwa dia siap menanggung konsekuensi dari semua kesalahan teman kelasnya
dengan lari keliling lapangan lima putaran. Sudah seharusnya begitu, dia ketua
kelas. Tapi yang tidak disangka, kakak kelas memintanya menunjuk satu dari kami
untuk menemaninya berlari keliling lapangan siang itu. Dan Ghani menunjukku.
Kelakuan Ghani itu ternyata menjadi hiburan bagi kakak kelas yang ada ditempat
kejadian, mereka menertawai kami seenaknya.
“Ooo... ada yang jatuh
cinta nih kayaknya. Hahaha.”
Perkataan salah satu
dari mereka itu memancing tawa yang lainnya. Sama sekali tidak lucu. Mau tidak mau, Aku harus tetap berlari
keliling lapangan. Tapi.. Lima putaran?
Aku tidak yakin. Benar saja, Aku ambruk di putaran kedua. Kakak-kakak kelas
yang ada disekitarku langsung berlari kearahku. Mngkin mereka takut Aku
kenapa-kenapa. Ghani? Ghani hanya melirikku dan tetap melanjutkan larinya. Laki-laki macam apa itu.
Aku mulai membencinya.
Gara-gara dia Aku harus tergeletak di rumah sakit untuk beberapa hari. Dan
gara-gara dia juga aku jadi tontonan teman seangkatan saat itu. Aku bukan
termasuk orang yang banyak bicara didepan orang, begitu pula Ghani. Ghani cenderung
pendiam dan hanya bicara kalau ada sesuatu yang penting. Setelah kejadian itu,
semuanya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, Ghani mengusikku.
“Aku mau ikut pramuka
boleh kan?”
Pertanyaan Ghani sangat
menyebalkan menurutku, bagaimana tidak? Sudah satu minggu ini Aku dan
teman-teman ekskul pramuka mempersiapkan pelantikan anggota ambalan SMA kami,
lalu tiba-tiba Ghani yang belum melakukan apa-apa mau masuk menjadi anggota?
Aku tidak suka. Tapi semua temanku tidak peduli. Mereka dengan senang hati
menyambut calon anggota baru yang nantinya menjadi bagian dari kami.
Kenapa
dia selalu hadir dalam hidupku? Kenapa saat Aku sudah mulai bisa memaafkannya
malah dia datang datang dengan kesalahan baru?
“Penanggungjawab latihan
rutin pramuka minggu depan adalah Rizki Putra dan Arina Utami, mohon
dipersiapkan sebaik-baiknya.”
Aku
siap. Ini tugas pertamaku setelah menjadi anggota pramuka di SMA ku, Aku akan
membuatnya sesempurna mungkin.
“Kamu minggu ini jadi
penanggungjawab latrutnya sama Ghani dulu ya?”
“Hah? Kok gitu, Ki?”
“Maaf ya, Tam. Soalnya
Aku lagi banyak rapat OSIS nih.”
“Oh, iya. Yaudah.”
Ada
apa ini? Keadaan seperti memaksaku untuk terus dengan Ghani. Aku berusaha
profesional dengan tugasku, siapapun partnernya.
‘Mau
dikonsep gimana latrutnya?’
‘Aku
belum tau, enaknya gimana?’
Obrolan
demi obrolan mengalir begitu enaknya, Ghani ternyata tidak seperti apa yang aku
pikirkan. Dia punya selera humor yang tinggi, baik, cerdas, dan yang terpenting
adalah nyambung.
Latrut
hari itu akhirnya selesai, tugasku dan Ghani berakhir. Tapi tidak dengan
obrolan kami, kami menjaga kontak dengan sekedar berkirim pesan singkat yang
intensitasnya makin banyak. Kami saling bertanya tentang PR, kami juga sering
tukar cerita, dari cerita yang sepele sampai yang mampu membuat kami meneteskan
air mata. Dia bukan lagi Ghani yang pertama kulihat. Aku mulai nyaman.
‘Kalau
boleh milih, kamu mau njabat jadi apa, Tam?’
‘Aku
nggak mau masuk dewan ambalan.’
‘Kok
gitu sih? Harus milih dong.. Haha’
‘Idih..
Kok maksa sih? Huuu..’
‘Jadi
bendahara aja, Tam. Haha’
‘Nggak
mau Ghaniiii...’
Aku
sudah ada ditahun kedua, jabatan sebagai dewan ambalan sudah saatnya
dilimpahkan ke angkatanku. Setiap anggota dibolehkan memilih jabatan di dewan
ambalan yang diinginkan, termasuk aku. Aku tidak ingin menjabat, tapi Ghani
bersikeras ingin jadi bendahara. Ghani mencantumkan namaku sebagai kawan kerja
yang dia inginkan. Tapi biar bagaimanapun kakak senior yang akan menentukan.
Kenapa
Ghani memilihku? Secepat itukah dia memercayaiku menjadi kawan kerjanya? Bukankah
masih banyak perempuan-perempuan yang lebih kompeten dan enak diajak diskusi
selain aku? Padahal aku dan Ghani tidak pernah komunikasi secara langsung lagi
setelah latrut hari itu. Entah kenapa aku jadi merasa canggung sejak itu,
begitupun Ghani. Sejak tahun kedua di SMA, Aku dan Ghani tidak lagi sekelas.
Kita masih tetap komunikasi, tapi tidak sesering saat tahun pertama. Aku
membencinya lagi.
Ghani
akhirnya mendapatkan jabatan yang dia inginkan di ambalan pramuka SMA kami,
tapi bukan aku partnernya. Partnernya adalah perempuan yang jauh lebih pintar
dibandingkan aku, yang baru-baru ini aku tahu kalau perempuan itu menyukai
Ghani.
Ditahun
ketiga, aku dipertemukan lagi dengan Ghani. Ya, kami satu kelas. Sebenarnya aku
bingung, harus senang atau sedih. Aku sudah lama terbiasa tidak melihatnya, aku
sudah terlalu malas kalau harus satu kelas lagi. Tapi disisi lain aku juga
sedikit merindukannya. Entah kenapa aku rindu dengan pesan singkatnya,
cerita-ceritanya, dan segalanya tentang dia. Ditahun ketiga, aku juga satu
kelas dengan beberapa teman-teman lingkaranku dari SMP. Mereka tau segalanya
tentang Aku. Dikelas aku bukan orang yang aktif berbicara, begitupun Ghani.
Sejak ditahun ketiga itu aku melihat Ghani bukan sebagai Ghani yang
sebelum-sebelumnya. Dia lebih pendiam dari dua tahun sebelumnya, dia juga lebih
canggung padaku. Mungkin aku juga. Kadang aku heran, mengapa Ghani bisa
bersikap sedemikian terbukanya pada orang lain didunia nyata tetapi tidak denganku?
Dia tak ragu menegur teman yang dia kenal, kecuali aku. Dia tak apa-apa jika
bercanda dengan teman-teman lain. Aku selalu merasa bukan temannya. Aku seperti
dijauhi. Aku tidak bisa menyalahkan Ghani karena sikapnya, karena aku juga sama
dengannya. Aku selalu merasa aneh jika harus berbicara atau sekedar bercanda
dengannya, aku tidak sanggup. Sama ketika aku diperintah guru kesenian untuk
menyanyi didepan teman sekelasku, aku ingin lenyap saat itu juga. Aku rasa, dua
tahun berkomunikasi di luar dunia nyata membuat aku menjadi seseorang yang
tidak lagi seperti biasanya jika harus dihadapkan dengan Ghani. Munafik jika
aku bilang kalau aku tidak punya perasaan apa-apa. Pernah ada temanku yang sok tau bilang pada teman-temanku kalau
aku menyukai Ghani. Aku tidak terima, jelas. Aku tidak menyukainya, pada
kenyataannya aku malah membencinya bukan? Teman satu lingkaranku pernah
mengetahui keanehanku ditahun ketiga itu, dia menanyakan tentang perasaanku.
Aku jawab tidak tahu, aku memang tidak tahu. Aku selalu bingung dengan diriku
sendiri, juga dengan perasaanku. Ini urusan hati, aku terlalu takut berbicara
tentang hati. Pernah sekali aku bercerita tentang Ghani pada teman satu lingkaranku,
dia keheranan dengan apa yang terjadi antara aku dan Ghani, dia pernah menyuruhku
untuk berbicara dengan Ghani supaya ‘keadaan aneh’ diantara kami bisa selesai.
Tapi aku menolak, itu bukan apa yang aku butuhkan. Aku merasa tidak ada yang
perlu diselesaikan, aku dan Ghani berteman. Kami berdua hampir tidak pernah
punya masalah.
Ditahun
ketiga juga aku mulai mengurangi kegiatanku di pramuka. Fokus ujian? Mungkin
itu salah satu alasanku. Tapi bukan cuma itu, aku tidak terlalu suka jika harus
terus bertemu Ghani. Apalagi di pramuka. Kadang
anak-anak pramuka rusuh. Suka seenaknya bilang ada sesuatu antara aku dan
Ghani. Sebegitu terlihatkah?
Sejak
tahun pertama aku dan tujuh teman SMP yang sekaligus teman SMA ku sudah
mempunyai kegiatan rutin yang kami lakukan tiap pekan. Kami punya kelompok tarbiyyah sendiri, teman-teman disitulah yang kusebut sebagai teman-teman lingkaranku. Dikelompok itulah
kami mendapatkan teman yang ‘benar-benaar teman’ juga ilmu-ilmu agama. Tidak
jarang juga kami bercerita tentang masalah kami, atau sekedar sharing. Tarbiyyahlah yang setiap pekan membuatku termotivasi untuk menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. Begitupun saat aku mulai merasa ada yang aneh antara
aku dan Ghani. Tentang perasaanku. Aku selalu merasa berdosa saat memiliki
perasaan seperti itu. Sekecil apapun, itu tetap perasaan. Dia bisa membesar
jika dibiarkan berkembang. Tapi aku tidak suka menceritakan sesuatu yang tidak
pasti seperti ini, aku memilih menyimpannya. Tidak menghendaki perasaan itu
muncul, dan tidak menampiknya saat perasaan itu datang.
Aku
dan Ghani pernah berdiskusi tentang try
out yang sudah beberapa kali kami lewati. Kami selalu merasa tidak adil
jika penilaian ujian hanya dilihat dari hasil. Padahal tidak semua yang hasil
ujiannya bagus melalui proses yang bagus dalam mendapatkan nilai tersebut.
Ghani yang aku tau adalah orang yang jujur, dia tidak melakukan cara-cara licik
untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, pantas dia tidak terima. Setelah agak
lama mengobrol, akhirnya kita sepakat bahwa semua akan indah pada waktunya. Aku
percaya.
Hari
kelulusan tiba, Aku dan semua teman se-SMA ku lulus. Termasuk Ghani. Senang
sekali saat perjuangan yang kita lakukan selama tiga tahun membuahkan hasil
yang baik. Tapi aku juga sedih karena harus berpisah dengan teman-teman satu
lingkaranku, teman-teman SMA ku, juga Ghani. Kami semua akhirnya mengambil
jalan masing-masing.
**
“Lho,
Tami belum tidur?”
Fira
teman sekamarku yang baru menyelesaikan tugasnya membuatku terbangun dari
lamunanku.
“Eh,
belum, Fir.”
“Udah
malem lho, Tam. Mendingan tidur.”
“Iya,
Fir. Iyaaa..”
Setelah
berwudhu, aku langsung mengambil
posisi tidur.
Kuliah
memang baru beberapa bulan, tapi pemikiranku sudah banyak berubah. Sebenarnya
lucu juga kalau mengingat kejadian-kejadian saat SMA. Aku selalu ingin
membenturkan kepalaku ke tembok saat aku mengingat semua kelakuanku. Aku
ternyata sangat norak saat memiliki perasaan semacam itu. Bukankah tidak
seharusnya aku membiarkan perasaan itu tumbuh begitu besarnya? Tapi sudahlah,
itu SMA. Tidak dengan kuliah, aku sudah harus bisa berpikir lebih dewasa.
Walaupun kadang-kadang, aku merindukan itu semua. Teman-teman satu lingkaranku,
teman-teman SMA ku, dan tentu saja Ghani.
Ah,
semua akan indah pada waktunya.
Aku
lantas mengambil kembali handphone yang sudah aku letakkan diatas meja, lalu
mengetik pesan balasan pada Ghani.
‘Alhamdulillah,
baik..’
Sent. Aku
sumringah.
“ASTAGHFIRULLAHALADZIM”
Ini
kan sudah jam 11 malam, kenapa aku balas sms ikhwan?
-selesai-
Slawi, 30 Desember 2013
hahahaaaa, apapun itu semacam bersyukur juga punya kalian :D suka vin dengan cerpenmuuu.. entah karena qw tahu siapa itu ghani atau apalah , hehee trus berkarya yah vinn :)
BalasHapusme too {} kl tau siapa ghani jd semi-fiksi deeh haha siaaaap! ;)
Hapuskangeeeeeen {}
BalasHapusjuga yaa {}
Hapusfiksi or semi fiks. tapi baguss vien...
BalasHapushayoo lanjutin share cerpen-cerpennya u..
semi-fiksi nih hehe iya uu terimakasih :))
Hapus