30 Desember 2013

Cerpen 1



‘Apa kabar, Tam?’
Seketika pesan singkat itu membuat langkahku terhenti.
“Lho, kenapa berhenti, Tam?”
“Oh, enggak Fir, ini ada sms dari temen SMA ku.”
“Ooo...”
Pesan singkat yang Ghani kirim sepulang kuliah, ternyata benar-benar sukses menghancurkan aktivitasku dihari Selasa ini. Dari sepulang kuliah sampai larut malam, Aku tidak keluar kamar kecuali untuk sholat. Pikiranku kembali melayang ke masa-masa SMA yang baru beberapa bulan kutinggalkan.

**
Semuanya berawal dari hari itu, hari dimana Aku dan seluruh siswa baru dikumpulkan di lapangan luas yang gersang. Keadaan saat itu benar-benar panas, apalagi dihadapan kami berbaris kakak-kakak kelas yang siap meminta pertanggungjawaban kami atas kesalahan-kesalahan yang kami lakukan selama OSPEK hari pertama. Saat itu, Ghani yang merupakan teman sekelasku membuatku marah. Dia bilang pada kakak kelas bahwa dia siap menanggung konsekuensi dari semua kesalahan teman kelasnya dengan lari keliling lapangan lima putaran. Sudah seharusnya begitu, dia ketua kelas. Tapi yang tidak disangka, kakak kelas memintanya menunjuk satu dari kami untuk menemaninya berlari keliling lapangan siang itu. Dan Ghani menunjukku. Kelakuan Ghani itu ternyata menjadi hiburan bagi kakak kelas yang ada ditempat kejadian, mereka menertawai kami seenaknya.
“Ooo... ada yang jatuh cinta nih kayaknya. Hahaha.”
Perkataan salah satu dari mereka itu memancing tawa yang lainnya. Sama sekali tidak lucu. Mau tidak mau, Aku harus tetap berlari keliling lapangan. Tapi.. Lima putaran? Aku tidak yakin. Benar saja, Aku ambruk di putaran kedua. Kakak-kakak kelas yang ada disekitarku langsung berlari kearahku. Mngkin mereka takut Aku kenapa-kenapa. Ghani? Ghani hanya melirikku dan tetap melanjutkan larinya. Laki-laki macam apa itu.

Aku mulai membencinya. Gara-gara dia Aku harus tergeletak di rumah sakit untuk beberapa hari. Dan gara-gara dia juga aku jadi tontonan teman seangkatan saat itu. Aku bukan termasuk orang yang banyak bicara didepan orang, begitu pula Ghani. Ghani cenderung pendiam dan hanya bicara kalau ada sesuatu yang penting. Setelah kejadian itu, semuanya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, Ghani mengusikku.
“Aku mau ikut pramuka boleh kan?”
Pertanyaan Ghani sangat menyebalkan menurutku, bagaimana tidak? Sudah satu minggu ini Aku dan teman-teman ekskul pramuka mempersiapkan pelantikan anggota ambalan SMA kami, lalu tiba-tiba Ghani yang belum melakukan apa-apa mau masuk menjadi anggota? Aku tidak suka. Tapi semua temanku tidak peduli. Mereka dengan senang hati menyambut calon anggota baru yang nantinya menjadi bagian dari kami.
Kenapa dia selalu hadir dalam hidupku? Kenapa saat Aku sudah mulai bisa memaafkannya malah dia datang datang dengan kesalahan baru?

“Penanggungjawab latihan rutin pramuka minggu depan adalah Rizki Putra dan Arina Utami, mohon dipersiapkan sebaik-baiknya.”
Aku siap. Ini tugas pertamaku setelah menjadi anggota pramuka di SMA ku, Aku akan membuatnya sesempurna mungkin.
“Kamu minggu ini jadi penanggungjawab latrutnya sama Ghani dulu ya?”
“Hah? Kok gitu, Ki?”
“Maaf ya, Tam. Soalnya Aku lagi banyak rapat OSIS nih.”
“Oh, iya. Yaudah.”
Ada apa ini? Keadaan seperti memaksaku untuk terus dengan Ghani. Aku berusaha profesional dengan tugasku, siapapun partnernya.
‘Mau dikonsep gimana latrutnya?’
‘Aku belum tau, enaknya gimana?’
Obrolan demi obrolan mengalir begitu enaknya, Ghani ternyata tidak seperti apa yang aku pikirkan. Dia punya selera humor yang tinggi, baik, cerdas, dan yang terpenting adalah nyambung.
Latrut hari itu akhirnya selesai, tugasku dan Ghani berakhir. Tapi tidak dengan obrolan kami, kami menjaga kontak dengan sekedar berkirim pesan singkat yang intensitasnya makin banyak. Kami saling bertanya tentang PR, kami juga sering tukar cerita, dari cerita yang sepele sampai yang mampu membuat kami meneteskan air mata. Dia bukan lagi Ghani yang pertama kulihat. Aku mulai nyaman.
‘Kalau boleh milih, kamu mau njabat jadi apa, Tam?’
‘Aku nggak mau masuk dewan ambalan.’
‘Kok gitu sih? Harus milih dong.. Haha’
‘Idih.. Kok maksa sih? Huuu..’
‘Jadi bendahara aja, Tam. Haha’
‘Nggak mau Ghaniiii...’
Aku sudah ada ditahun kedua, jabatan sebagai dewan ambalan sudah saatnya dilimpahkan ke angkatanku. Setiap anggota dibolehkan memilih jabatan di dewan ambalan yang diinginkan, termasuk aku. Aku tidak ingin menjabat, tapi Ghani bersikeras ingin jadi bendahara. Ghani mencantumkan namaku sebagai kawan kerja yang dia inginkan. Tapi biar bagaimanapun kakak senior yang akan menentukan.

Kenapa Ghani memilihku? Secepat itukah dia memercayaiku menjadi kawan kerjanya? Bukankah masih banyak perempuan-perempuan yang lebih kompeten dan enak diajak diskusi selain aku? Padahal aku dan Ghani tidak pernah komunikasi secara langsung lagi setelah latrut hari itu. Entah kenapa aku jadi merasa canggung sejak itu, begitupun Ghani. Sejak tahun kedua di SMA, Aku dan Ghani tidak lagi sekelas. Kita masih tetap komunikasi, tapi tidak sesering saat tahun pertama. Aku membencinya lagi.
Ghani akhirnya mendapatkan jabatan yang dia inginkan di ambalan pramuka SMA kami, tapi bukan aku partnernya. Partnernya adalah perempuan yang jauh lebih pintar dibandingkan aku, yang baru-baru ini aku tahu kalau perempuan itu menyukai Ghani.

Ditahun ketiga, aku dipertemukan lagi dengan Ghani. Ya, kami satu kelas. Sebenarnya aku bingung, harus senang atau sedih. Aku sudah lama terbiasa tidak melihatnya, aku sudah terlalu malas kalau harus satu kelas lagi. Tapi disisi lain aku juga sedikit merindukannya. Entah kenapa aku rindu dengan pesan singkatnya, cerita-ceritanya, dan segalanya tentang dia. Ditahun ketiga, aku juga satu kelas dengan beberapa teman-teman lingkaranku dari SMP. Mereka tau segalanya tentang Aku. Dikelas aku bukan orang yang aktif berbicara, begitupun Ghani. Sejak ditahun ketiga itu aku melihat Ghani bukan sebagai Ghani yang sebelum-sebelumnya. Dia lebih pendiam dari dua tahun sebelumnya, dia juga lebih canggung padaku. Mungkin aku juga. Kadang aku heran, mengapa Ghani bisa bersikap sedemikian terbukanya pada orang lain didunia nyata tetapi tidak denganku? Dia tak ragu menegur teman yang dia kenal, kecuali aku. Dia tak apa-apa jika bercanda dengan teman-teman lain. Aku selalu merasa bukan temannya. Aku seperti dijauhi. Aku tidak bisa menyalahkan Ghani karena sikapnya, karena aku juga sama dengannya. Aku selalu merasa aneh jika harus berbicara atau sekedar bercanda dengannya, aku tidak sanggup. Sama ketika aku diperintah guru kesenian untuk menyanyi didepan teman sekelasku, aku ingin lenyap saat itu juga. Aku rasa, dua tahun berkomunikasi di luar dunia nyata membuat aku menjadi seseorang yang tidak lagi seperti biasanya jika harus dihadapkan dengan Ghani. Munafik jika aku bilang kalau aku tidak punya perasaan apa-apa. Pernah ada temanku yang sok tau bilang pada teman-temanku kalau aku menyukai Ghani. Aku tidak terima, jelas. Aku tidak menyukainya, pada kenyataannya aku malah membencinya bukan? Teman satu lingkaranku pernah mengetahui keanehanku ditahun ketiga itu, dia menanyakan tentang perasaanku. Aku jawab tidak tahu, aku memang tidak tahu. Aku selalu bingung dengan diriku sendiri, juga dengan perasaanku. Ini urusan hati, aku terlalu takut berbicara tentang hati. Pernah sekali aku bercerita tentang Ghani pada teman satu lingkaranku, dia keheranan dengan apa yang terjadi antara aku dan Ghani, dia pernah menyuruhku untuk berbicara dengan Ghani supaya ‘keadaan aneh’ diantara kami bisa selesai. Tapi aku menolak, itu bukan apa yang aku butuhkan. Aku merasa tidak ada yang perlu diselesaikan, aku dan Ghani berteman. Kami berdua hampir tidak pernah punya masalah.
Ditahun ketiga juga aku mulai mengurangi kegiatanku di pramuka. Fokus ujian? Mungkin itu salah satu alasanku. Tapi bukan cuma itu, aku tidak terlalu suka jika harus terus bertemu Ghani. Apalagi di pramuka. Kadang anak-anak pramuka rusuh. Suka seenaknya bilang ada sesuatu antara aku dan Ghani. Sebegitu terlihatkah?

Sejak tahun pertama aku dan tujuh teman SMP yang sekaligus teman SMA ku sudah mempunyai kegiatan rutin yang kami lakukan tiap pekan. Kami punya kelompok tarbiyyah sendiri, teman-teman disitulah yang kusebut sebagai teman-teman lingkaranku. Dikelompok itulah kami mendapatkan teman yang ‘benar-benaar teman’ juga ilmu-ilmu agama. Tidak jarang juga kami bercerita tentang masalah kami, atau sekedar sharing. Tarbiyyahlah yang setiap pekan membuatku termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Begitupun saat aku mulai merasa ada yang aneh antara aku dan Ghani. Tentang perasaanku. Aku selalu merasa berdosa saat memiliki perasaan seperti itu. Sekecil apapun, itu tetap perasaan. Dia bisa membesar jika dibiarkan berkembang. Tapi aku tidak suka menceritakan sesuatu yang tidak pasti seperti ini, aku memilih menyimpannya. Tidak menghendaki perasaan itu muncul, dan tidak menampiknya saat perasaan itu datang.

Aku dan Ghani pernah berdiskusi tentang try out yang sudah beberapa kali kami lewati. Kami selalu merasa tidak adil jika penilaian ujian hanya dilihat dari hasil. Padahal tidak semua yang hasil ujiannya bagus melalui proses yang bagus dalam mendapatkan nilai tersebut. Ghani yang aku tau adalah orang yang jujur, dia tidak melakukan cara-cara licik untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, pantas dia tidak terima. Setelah agak lama mengobrol, akhirnya kita sepakat bahwa semua akan indah pada waktunya. Aku percaya.
Hari kelulusan tiba, Aku dan semua teman se-SMA ku lulus. Termasuk Ghani. Senang sekali saat perjuangan yang kita lakukan selama tiga tahun membuahkan hasil yang baik. Tapi aku juga sedih karena harus berpisah dengan teman-teman satu lingkaranku, teman-teman SMA ku, juga Ghani. Kami semua akhirnya mengambil jalan masing-masing.

**
“Lho, Tami belum tidur?”
Fira teman sekamarku yang baru menyelesaikan tugasnya membuatku terbangun dari lamunanku.
“Eh, belum, Fir.”
“Udah malem lho, Tam. Mendingan tidur.”
“Iya, Fir. Iyaaa..”
Setelah berwudhu, aku langsung mengambil posisi tidur.

Kuliah memang baru beberapa bulan, tapi pemikiranku sudah banyak berubah. Sebenarnya lucu juga kalau mengingat kejadian-kejadian saat SMA. Aku selalu ingin membenturkan kepalaku ke tembok saat aku mengingat semua kelakuanku. Aku ternyata sangat norak saat memiliki perasaan semacam itu. Bukankah tidak seharusnya aku membiarkan perasaan itu tumbuh begitu besarnya? Tapi sudahlah, itu SMA. Tidak dengan kuliah, aku sudah harus bisa berpikir lebih dewasa. Walaupun kadang-kadang, aku merindukan itu semua. Teman-teman satu lingkaranku, teman-teman SMA ku, dan tentu saja Ghani.
Ah, semua akan indah pada waktunya.
Aku lantas mengambil kembali handphone yang sudah aku letakkan diatas meja, lalu mengetik pesan balasan pada Ghani.
‘Alhamdulillah, baik..’
Sent. Aku sumringah.
“ASTAGHFIRULLAHALADZIM”
Ini kan sudah jam 11 malam, kenapa aku balas sms ikhwan?

-selesai-
Slawi, 30 Desember 2013 


kaya jerapah :(

sebenernya cepen2an ini didedikasikan *yelah* buat arum, kiki, winda temen satu lingkaranku sekaligus temen dari SD sampek SMA yang tau siapa Ghani. Maaf dari dulu ngga pernah cerita, aku selalu menyayangi kaliaaaaan {}
eh, ini fiksi lho... fiksi tapi... ya fiksi ;)

6 komentar:

  1. hahahaaaa, apapun itu semacam bersyukur juga punya kalian :D suka vin dengan cerpenmuuu.. entah karena qw tahu siapa itu ghani atau apalah , hehee trus berkarya yah vinn :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. me too {} kl tau siapa ghani jd semi-fiksi deeh haha siaaaap! ;)

      Hapus
  2. fiksi or semi fiks. tapi baguss vien...
    hayoo lanjutin share cerpen-cerpennya u..

    BalasHapus
    Balasan
    1. semi-fiksi nih hehe iya uu terimakasih :))

      Hapus